Perkembangan Dunia Digital: Silent Killer Bagi Generasi Lansia?

Bahagia Menggunakan Teknologi Digital | Freepik (pressfoto)


#57TahunTelkom #DigitalBisaUntukSemua

Perkembangan teknologi digital membawa kehidupan manusia pada masa depan yang utopis. Kemudahan akses untuk memenuhi berbagai kepentingan pada saat ini menjadi semacam pembuka jalan—dari kepentingan-kepentingan personal hingga masal. Tidak ada lagi jalan kaki atau repot-repot menggunakan kendaraan demi mendapatkan makanan dari restoran favorit atau melakukan perjalanan jauh ke kota lain untuk bertemu dengan orang yang dirindukan, semua bisa dilakukan dengan teknologi digital.

Milenial menjadi yang paling diuntungkan. Tidak heran, mereka adalah digital native—penduduk asli dari dunia tersebut. Kelompok ini pulalah yang di kemudian hari akan mengembangkannya melewati limit yang saat ini tampak tidak terbatas, meninggalkan dunia analog dan hal-hal lainnya yang dipandang tidak lagi sesuai dengan zaman.

Generasi Tua: Generasi yang Tidak Lagi Sesuai dengan Zaman

Nahasnya, eksistensi masyarakat tua menjadi bagian dari yang dipandang tidak lagi sesuai dengan zaman. Masyarakat tua dalam kehidupan sosial dimasukkan ke dalam kategori lanjut usia. Badan Pusat Statistika dalam “Potret Sensus Penduduk 2020 Menuju Satu Data Kependudukan Indonesia”  mendefinisikan kelompok tersebut sebagai mereka yang berusia lebih dari sama dengan 60 tahun. Mereka adalah kelompok yang teralienasi di tengah hiruk-pikuk mobilitas ini.

Pasangan Lansia
Pasangan Lansia Mencoba Teknologi | Freepik (freepik)

Sayangnya bukan hanya kelompok lansia saja yang tertinggal, begitu juga dengan mereka yang berusia lebih dari sama dengan 55 tahun. Kaspersky dalam laporan yang berjudul "‘The Rise of 'Can You Just'—The Tech Affliction Sweeping Our World” menunjukkan hasil riset yang menyatakan bahwa lebih dari sepertiga dari kelompok tersebut mengakui bahwa mereka membutuhkan bantuan untuk penggunaan teknologi sehari-hari.

Penggunaan teknologi digital sehari-hari bisa diartikan sebagai penggunaan produk-produk elektronik cerdas yang tersedia di rumah. Penguasaan terhadap produk tersebut adalah keterampilan dasar. Fakta tersebut menunjukkan bahwa masyarakat kelompok usia 55 tahun akan mendapatkan kesulitan yang sangat berarti ketika dihadapkan pada penggunaan teknologi digital di tingkat yang lebih tinggi seperti yang tersedia pada berbagai jenis layanan publik dalam berbagai sektor.

Upaya digitalisasi layanan publik di Indonesia sedang marak, dengan pandemi COVID-19 sebagai stimulus yang tidak terbendung. Tidak lain sesungguhnya ini dimaksudkan untuk mengoptimalkan layanan. “Diharapkan mampu mewujudkan pelayanan prima, di mana pelayanan publik yang tidak hanya mencapai ekspektasi masyarakat namun mampu melebihi harapan dari para penggunanya,” jelas Deputi bidang Pelayanan Publik KemenPANRB Diah Natalisa.

Sayangnya, berbagai kesulitan justru banyak terjadi di lapangan dan umumnya menimpa masyarakat lanjut usia. Namun ternyata ketidakpahaman masyarakat lanjut usia terhadap perkembangan internet dan penggunaan gawai juga terjadi di negara maju seperti layaknya Jepang. Hal ini dijelaskan secara tegas dalam laman Asahi Shinbun, bahwa banyak masyarakat lansia di sana yang mengeluh pada pergeseran tren layanan tersebut.

Ketidakmampuan masyarakat lanjut usia dalam penggunaan teknologi digital juga terjadi di Tiongkok. Ella Kidron dan Vivian Yang dari Global Corporate Affairs dalam “How to Close the Digital Gap for the Elderly” memaparkan beberapa kasus serupa.

Salah satu kasus yang diangkat adalah pengabaian terhadap seorang perempuan tua yang berniat untuk melakukan pembayaran asuransi kesehatan secara tunai. Ia dibiarkan sendiri dalam keadaan bingung karena transaksinya ditolak. Sistem menginginkan pembayaran secara digital sementara perempuan tua tersebut tidak paham bagaimana cara mengatur gawainya untuk melakukan hal tersebut.

Pengabaian dan penyingkiran partisipasi masyarakat lansia dalam berbagai layanan sepatutnya adalah senjata paling ampuh dari perkembangan teknologi digital dalam peranannya sebagai silent killer. Sesuatu yang sangat disayangkan bisa terjadi di era modern seperti ini.

Digital Native sebagai Pahlawan Teknologi Digital

Sebuah dinamika wajarnya memang memunculkan pro dan kontra, menciptakan sisi baik dan buruk. Jika sisi buruk dari dinamika perkembangan teknologi digital ini adalah munculnya pembunuh senyap bagi generasi tua, maka sisi baik yang diharapkan muncul adalah lahirnya pahlawan-pahlawan literasi digital yang mampu menghadang hal tersebut. Dan, generasi milenial sebagai digital native sudah sepatutnya mengambil peranan penting tersebut.

Digital Native
Milenial si Digital Native | Freepik (pressfoto)

Tumbuh kembang di era yang sama dengan proses tumbuh kembang teknologi digital membuat generasi milenial menjadi begitu dekat dengan hal tersebut. Penguasaan terhadapnya pun menjadi sejalan dengan pertumbuhan aspek kognitif dan mental. Menjadikannya seiring.

Dalam upaya menumpas gap yang cukup mengkhawatirkan antara perkembangan teknologi digital dengan kompetensi masyarakat lansia, intervensi generasi milenial sangat diperlukan. Kabar baiknya, 69% milenial merasa khawatir jika orang tua mereka mengalami scam secara daring (melalui produk digital). Oleh karenanya, 55% milenial merasa berkewajiban untuk memberikan dukungan teknis kepada anggota keluarga mereka, dan 64% dari milenial telah membantu kerabat mereka yang lebih tua dengan dukungan tersebut.

Dukungan teknis tersebut bisa dioptimalkan dengan peningkatan kompetensi pada aspek literasi digital. Menjadi melek literasi digital bisa menjadi kunci untuk menolong generasi tua dari kemungkinan terburuk yang bisa menjadi dampak dari perkembangan teknologi digital.

Komentar

Silakan masuk terlebih dahulu, untuk berkomentar memakai akun kamu.

X

Tekan ESC untuk keluar