#57TahunTelkom #DigitalBisaUntukSemua
Bicara mengenai Hallyu, Sebagian dari kita mungkin sudah tidak asing bahkan mungkin sudah sangat akrab dan erat dengan istilah tersebut. Mulai dari K-Popers atau K-Drama Lovers merupakan sedikit dari banyaknya sebutan yang ada dalam Fenomena Hallyu.
Hallyu biasa juga dikenal dengan istilah Demam Korea atau Korean Wave, begitu hangat diperbincangkan oleh beragam generasi terutama generasi muda. Pada dasarnya, fenomena Hallyu merupakan serangkaian Kejadian berkembangnya budaya korea yang begitu pesat, lalu menyebar secara luas dan mengglobal. Penyebarannya yang begitu besar dan ramainya antusiasme Publik dalam menanggapi Fenomena Hallyu ini, tentunya membuat banyak negara merasakan langsung iklim keberadaannya. Tak terkecuali Indonesia, Pun menjadi sasaran penyebaran dan perkembangannya. Ada begitu banyak hal yang terpengaruhi oleh fenomena Hallyu ini, mulai dari dunia hiburan, makanan, gaya hidup, Fashion, Bahasa dan masih banyak lagi.[1]
Di era Society 5.0 saat ini segala sesuatu dapat diakses dengan mudah, sektor dalam kehidupan banyak yang bergeser menjadi berbasis digital, Internet beserta segala aspek pendukungnya berjalan beriringan satu sama lain dalam kehidupan sosial masyarakat dan tentunya segala arus pergerakan informasi dari manapun dapat menyebar dengan cepat mendobrak batas jarak, ruang dan waktu.[2] Dan benar, Fenomena Hallyu merupakan salah satu contoh dari sekian banyak fenomena masa kini yang mendobrak batas-batas tersebut.
Pesatnya perkembangan Teknologi Informasi dan komunikasi, Gencar dan masifnya promosi akan produk-produk Hallyu diberagam Digital Platform, hingga cepat serta besarnya antuasiasme publik dalam menanggapi Fenomena tersebut, membuat gelombang Hallyu tak kunjung surut bahkan terus tumbuh berkembang dan telah merekat erat di kehidupan para penggemarnya. Sudah pasti dalam setiap hal baru akan ada resiko baru yang mengikutinya. Fanatisme dan perilaku konsumtif merupakan segelintir Dampak Negatif dari Fenomena Hallyu.[3] Namun, dibalik dampak negatif tersebut, dampak positif pun turut andil mewarnai fenomena Hallyu. Meningkatnya minat belajar Bahasa Asing dalam kasus ini Bahasa yang dipelajari adalah Bahasa korea merupakan salah satu contoh dampak posititf fenomena Hallyu.[4]
Lantas sekarang pertanyaannya, Hal apa sih yang membuat para penggemar produk-produk Hallyu begitu mudah dalam mengetahui, mempelajari hingga menerapkan budaya baru dalam kehidupannya?
Untuk menjawab pertanyaan di atas maka sebuah teori yang dicetuskan oleh Albert Bandura yaitu Teori Belajar Sosial atau Social Learning Theory menjawabnya dengan cara mengasumsikan bahwa manusia adalah makhluk yang cerdas dan cenderung meniru apa yang lingkungan sosial suguhkan dan akibat atau dampak yang dihasilkan merupakan buah hasil dari apa yang disuguhkan lingkungan sosialnya,[5] Analogika sederhananya seperti ini, lingkungan sosial dalam kasus ini merupakan seluruh platform digital yang menyuguhkan konten berbau Hallyu dan Hallyu sendiri merupakan apa yang dikonsumsi publik atau para generasi muda yang terpapar oleh Hallyu.
Maka dengan itu dapat ditarik kesimpulan, bahwa para generasi muda dengan jiwa pencarian identitas diri yang tinggi dan juga sebagai makhluk yang cerdas dalam mengenali, mempelajari dan menerapkan hal-hal baru entah itu yang bersifat positif maupun negatif mengenai Hallyu merupakan buah hasil dari belajar lingkungan sosialnya.

Dalam Teori Belajar Sosial atau Social Learning Theory sebagian besar manusia perilakunya merupakan buah hasil dari belajarnya melalui modeling dengan kata lain lingkungan itu pembentuk utama perilaku manusia. Namun, untuk membentuk perilaku tersebut, terdapat beberapa tahap yang pastinya dilalui seperti tahap memperhatikan, tahap menyimpan informasi baru dan penting, tahap reproduksi dan yang terakhir tahap motivasi. Keempat tahap ini begitu penting karena 4 tahap tersebut menentukan hasil apa yang akan diadopsi oleh individu dari lingkungannya.
Seperti halnya dampak kasus dari fenomena Hallyu yang telah dijabarkan di atas. Produk-produk Hallyu seperti musik, film, drama, gaya hidup, gaya berpakaian, makanan, Bahasa dan masih banyak lagi merupakan model yang akan dicontoh dan dipelajari oleh para generasi muda. Dan hasil dari pencontohan tersebut bergantung pada kualitas lingkungan yang menjadi model para generasi muda. Jadi, jika ingin menghasilkan produk hasil yang baik maka diperlukan lingkungan yang baik untuk membentuknya. Dan jika produk hasil bersifat menyimpang diperlukan koreksi lebih lanjut dan diperbaiki kualitas lingkungan untuk membentuk produk hasil yang lebih baik.
[1] Riani Suminar, “Fenomena Hallyu Di Indonesia,” Jurnal Ilmiah Indonesia 3, no. 12 (2018).
[2] Muhamad Bisri Mustofa, Evin Luthfiah Dwiandrini, and Indriani Agustin, “MEDIA MASSA DAN CYBER CRIME DI ERA SOCIETY 5 . 0 ( Tinjauan Multidisipliner ),” AT-TANZIR : Jurnal Prodi Komunikasi Dan Penyiaran Islam 13, no. 1 (2022).
[3] Noor Hidayati and Yeniar Indriana, “Hubungan Antar Fanatisme Dengan Perilaku Konsumtif Pada Remaja Penggemar Kpop Di Semarang,” Jurnal Empati. Universitas Diponegoro 11, no. 01 (2022): 56–60.
[4] Kiki Zakiah et al., “Menjadi Korean Di Indonesia: Mekanisme Perubahan Budaya Indonesia-Korea,” Media Tor 12, no. 1 (2019): 90–101, https://ejournal.unisba.ac.id/index.php/mediator/article/view/3979.
[5] Unknown Writer, “Teori Albert Bandura,” n.d., 1–8.