Mengenal Social Commerce sebagai Tren Belanja Online Masa Depan

Fitur social commerce dalam media sosial | Sumber: Unsplash


#DigitalBisa #UntukIndonesiaLebihBaik

Ada angin segar dalam cara pengguna berbelanja online tatkala TikTok merilis TikTok Shop di Indonesia pada 2021 lalu. Aplikasi media sosial populer asal Tiongkok ini memanjakan pengguna dengan kegiatan belanja tanpa harus meninggalkan aplikasi atau pergi ke aplikasi marketplace.

Konon, jika pengguna berbelanja di TikTok Shop--saat artikel ini ditulis--mereka juga akan mendapatkan fasilitas gratis ongkos kirim. TikTok juga memanjakan penjual atau seller atau penjual dengan semacam program inkubasi atau pelatihan berjualan. Mereka sepertinya memang jor-joran menarik partisipasi pengguna.

Di samping itu, Instagram pun sebenarnya juga punya fitur serupa yaitu Instagram Shopping. Hanya saja, fitur e-commerce di dalam aplikasi Instagram belum tersedia di Indonesia. Terlepas dari itu, kegiatan berbelanja di media sosial ini lumrah dikenal dengan social commerce

Apa Itu Social Commerce

Sebelum kita beranjak pada pembahasan yang lebih lanjut, tentu akan lebih baik jika kita pahami istilah “social commerce” terlebih dahulu. Sederhananya, social commerce merupakan proses jual beli barang atau jasa yang dilakukan langsung pada platform media sosial.

Media sosial yang dimaksud bisa berupa jejaring sosial seperti TikTok dan Instagram tadi, bisa pula aplikasi-aplikasi lain yang melibatkan interaksi antar pengguna di dalamnya. Tren social commerce sebenarnya bukanlah hal yang baru, namun menjadi semakin terkenal semenjak TikTok Shop dirilis.

Lebih lanjut, social commerce menawarkan berbagai manfaat yang bisa diperoleh pengguna. Keuntungan yang paling mendasar adalah adanya kontak langsung antara pembeli dan penjual. Selain memasang produk di feed toko, penjual bahkan bisa melakukan penjualan dengan metode live streaming sehingga calon pembeli bisa melihat produk-produk di etalase.

Selain itu, penjual atau pemilik bisnis juga bisa mendapatkan ulasan yang terpercaya langsung dari konsumen. Di sisi lain, calon pembeli juga bisa mempelajari produk-produk tertentu dari ulasan pengguna lainnya. Hal ini tentu memberikan pengalaman berbelanja online yang lebih baik, bukan?

Perbedaan dengan E-Commerce Biasa

Harus diakui, bagaimanapun social commerce juga merupakan bagian dari e-commerce, hanya saja ia berbeda dengan e-commerce biasa. E-commerce pada umumnya mengandalkan aplikasi berbentuk toko atau pasar online, sedangkan social commerce mengintegrasikan fitur jual-beli dalam aplikasi media sosial.

Social commerce mencoba mendekatkan produk/jasa pada pengguna yang nyatanya lebih betah berlama-lama di media sosial ketimbang marketplace. Di samping itu, pada social commerce kegiatan promosi dapat dilakukan secara “halus” atau “soft selling”. Anda juga bisa melakukan kampanye pemasaran konten pada toko Anda di media sosial.

Hal lainnya yang membedakan social commerce dengan e-commerce biasa adalah lebih mudahnya akses promosi dengan metode endorsement dari influencer di aplikasi media sosial terkait. Peluang ini tentu menjadi tawaran menarik bagi bisnis yang ingin membangun citra merek mereka di mata konsumen.

Sehingga tidak heran jika saat ini social commerce dinilai sebagai fenomena baru yang akan semakin digandrungi di masa yang akan datang.

Fitur social commerce membuat pengguna bisa berbelanja di aplikasi media sosial favorit mereka (Sumber: Pixabay)

Siap Menggemparkan Dunia E-Commerce

Ada sebuah tulisan menarik yang dipublikasi di Forbes.com, tulisan itu bertajuk “The Rise Of Social Commerce”. Hal yang menarik dalam tulisan itu adalah social commerce lebih masif dan populer di Asia dibandingkan dengan Amerika Serikat. Nilai pasar social commerce di Asia mencapai 360 miliar dolar AS, sedangkan di Amerika Serikat hanya sebagian kecil dari itu.

Social commerce juga digadang-gadang akan mengambil alih dunia e-commerce dalam satu dekade ke depan. Ada beberapa alasan untuk ini, salah satu yang paling kuat adalah kebanyakan orang suka membagikan merek favorit mereka di media sosial.

Pengguna media sosial pada umumnya suka mengirimkan foto pakaian yang akan mereka beli. Kabar baik lainnya adalah 88% orang mempercayai rekomendasi teman mereka ketimbang influencer. Semua kegiatan di atas sangat umum ditemukan di media sosial.

Lebih lanjut, sebuah laman di campaignasia.com bahkan menyebutkan bahwa jumlah social shoppers di Asia Tenggara diperkirakan mencapai 64 juta orang. Mereka adalah golongan muda dengan 55% dari mereka perempuan dan 60% di antaranya berusia di bawah 34 tahun.

Jumlah pengguna tersebut tentu dapat meningkat seiring perjalanan waktu. Hal ini dikarenakan dapat berbelanja dan berhibur di satu aplikasi adalah “sesuatu”. Kenyataannya, social commerce menawarkan sesuatu yang lebih praktis dan meminimalisir jarak antara penjual dan pembeli.

Bukankah itu hal yang kita butuhkan dalam tren berbelanja online saat ini? Bagaimana pendapat Anda?

Referensi:

Paul Burke. 2022. The Rise Of Social Commerce. Tersedia di https://www.forbes.com/sites/forbeseq/2022/02/18/the-rise-of-social-commerce/

Sheetal Naroth. 2022. What's behind the boom in social commerce in Southeast Asia?. Tersedia di https://www.campaignasia.com/article/whats-behind-the-boom-in-social-commerce-in-southeast-asia/476216

Komentar

Silakan masuk terlebih dahulu, untuk berkomentar memakai akun kamu.

X

Tekan ESC untuk keluar