#DigitalBisa #UntukIndonesiaLebihBaik
Sadar atau tidak, selama bertahun-tahun kita mungkin telah berkali-kali melakukan praktek pelanggaran hak cipta. Latar belakang hal itu terjadi adalah karena memang kita belum mengerti tentang hak cipta dan kekayaan intelektual itu atau karena alasan lainnya.
Penulis teringat ketika zaman sekolah dulu, rasanya terbantu sekali dengan tukang fotokopi. Buku fotokopian jauh lebih hemat dari pada membeli buku aslinya. Tapi nyatanya, memfotokopi buku itu melanggar hak cipta.
Di era kekinian, pelanggaran tidak hanya terjadi pada produk fisik saja, melainkan juga digital, mulai dari perangkat lunak hingga ke buku digital. Fenomena-fenomena pelanggaran ini kemudian mendorong orang-orang untuk menciptakan Manajemen Hak Digital atau Digital Rights Management.
Apa itu Digital Rights Management?
Digital Rights Management (DRM) adalah seperangkat teknologi yang diciptakan untuk membatasi akses atau penggunaan terhadap konten multimedia dan/atau perangkat lunak tertentu. Teknologi ini diciptakan untuk melindungi hak cipta dari pemilik atau pencipta karya tersebut.
Dikutip dari vice.com, DRM dikembangkan mulai awal tahun 90-an. Dalam sejarah perkembangannya, terdapat pro dan kontra terhadap perlindungan hak cipta digital tersebut.
International Business Machines (IBM) menjadi salah satu perusahaan yang mencoba mengembangkan sistem DRM pada era 90-an namun berakhir gagal. Kegagalan tersebut dikarenakan komputer era 90-an belum terlalu mumpuni untuk menjalankannya.
Meskipun gagal, perhatian IBM terhadap DRM menjadi salah satu tonggak perkembangan DRM hingga saat ini–terlepas dari apakah konsumen menyukainya atau tidak.
Teknologi DRM berkaitan erat dengan kunci lisensi (license key), kunci aktivasi (activation key), pembatasan perangkat untuk aplikasi tertentu, dan sebagainya. Kemudian pada konten multimedia seperti musik, DRM membuatnya hanya bisa dipakai di aplikasi tertentu. Hal ini membuat konsumen menjadi tidak senang karena perusahaan mengatur-atur cara mereka menggunakan produk digital--yang padahal sudah mereka beli.
Potret Pelanggaran Hak Cipta di Sekitar Kita
Sebagai seorang narablog, penulis sangat akrab dengan aplikasi multimedia. Sebagai contoh, dulu penulis menggunakan aplikasi desain grafis berbasis vektor tertentu. Aplikasi atau program tersebut merupakan program berbayar namun bisa dipakai dengan sejenis “crack” atau perangkat pembajakan.
Setelah insaf, penulis memutuskan untuk menggunakan aplikasi alternatif yang bersifat open source atau sumber terbuka saja. Tidak hanya aplikasi grafis vektor tersebut, saat ini pun penulis berusaha membeli laptop dengan sistem operasi legal, perangkat office legal, hingga membeli aplikasi atau memilih menggunakan alternatif sumber terbuka.
Namun memang ada upaya ekstra ketika kita mencoba menghargai sebuah hak cipta. Salah satunya adalah belajar menggunakan perangkat lunak baru dan sejenisnya. Meskipun berat, tapi itu mungkin untuk dilakukan.
Terkait potret pelanggaran hak cipta di sekitar kita, itu bukanlah hal yang sulit untuk ditemukan. Cobalah membuka marketplace online, ada banyak orang menjual akun Windows serta program bajakan lainnya. Kebanyakan menggunakan celah pada shared account–cara yang juga digunakan untuk berjualan akun video on demand hingga aplikasi berbasis langganan (subscription).

Butuh Teknologi dan Kesadaran Pengguna
Meskipun DRM telah ditemukan dan terus dikembangkan, bukan berarti ia tidak menemukan tantangan. Toh meskipun telah dibuat kunci-kunci unik untuk aktivasi, masih ada cara bagi pembajak (cracker) untuk menggunakan program dan konten multimedia secara ilegal.
Pelaku industri, pemilik hak cipta, dan pihak lain yang terlibat tentu tidak akan diam untuk memerangi para pembajak. Teknologi baru pun dilirik untuk menyempurnakan DRM, salah satunya adalah blockchain.
Qureshi dan Jiménez (2021) menilai blockchain mampu membuat pemilik hak cipta dengan konsumen berinteraksi tanpa adanya biaya perantara yang mahal. Aplikasi perlindungan hak cipta berbasis blockchain juga memudahkan pemilik untuk mengunggah konten berlisensi, mengontrol akses atau penggunaan lisensi, mengatur distribusi, melacak sumber pembajakan, dan lainnya.
Namun pertanyaannya, apakah setelah teknologi blockchain dapat diadopsi secara sempurna untuk DRM, akankah pembajakan bisa dihentikan?
Jawaban dari pertanyaan itu agaknya kita sudah tahu, pembajakan akan terus ada selama belum munculnya kesadaran konsumen akan pentingnya hak cipta. Hal ini biasanya akan muncul ketika seorang konsumen sudah pernah mencoba sulitnya menciptakan konten atau produk digital tertentu.
Penulis pun begitu, jika nanti artikel ini disalin secara bebas dan dipublikasikan di tempat lain oleh seseorang. Sebagai penulisnya, saya tentu akan merasa tidak senang dengan pembajakan atau pencurian itu.
Oleh karena itu, kita perlu menempatkan diri sebagai pemilik hak cipta dari konten apapun yang akan kita gunakan. Terlepas dari adanya DRM atau tidak, membantu pemilik untuk melindungi hak ciptanya adalah hal yang terpuji untuk dilakukan, bukan?
Referensi:
Ernie Smith. 2017. The Incredibly Technical History of Digital Rights Management. Tersedia di https://www.vice.com/en/article/evbgkn/the-incredibly-technical-history-of-digital-rights-management
Amna Qureshi dan David Megías Jiménez. 2021. Blockchain-Based Multimedia Content Protection: Review and Open Challenges. Applied Sciences, 11, 1.